Minggu, 20 Desember 2009

100 Hari Kerja Pemerintahan SBY dan Pemberantasan Korupsi

Salah satu prioritas program kerja 100 hari dari kabinet Indonesia Bersatu jilid II adalah pemberantasan korupsi. Program itu kini hampir usai, namun belum ada tanda-tanda signifikan yang bisa mengubah wajah negri ini dari label negara terkorup di dunia. Lihat saja penanganan kasus skandal Bank Century semakin hari semakin tidak jelas juntrungannya ke mana. Tidak heran bila masyarakat mulai bertanya keseriusan pemerintah memberantas korupsi dan mengapa pemerintah tak punya taring untuk memberantas korupsi?

Sedikitnya ada dua penyebab ketidakmampuan (impotensi) pemerintah memberantas korupsi. Pertama, korupsi sangat lekat dengan kekuasaan, kewenangan dan pemilikan senjata, dimana kesemuanya dimiliki oleh pemerintah beserta jajaran perangkat hukumnya seperti kejaksaan, kepolisian, kehakiman dan sejumlah lembaga pengawasan. Artinya, pihak yang paling potensial melakukan korupsi adalah pemerintah. Pada saat perilaku korup sudah menjadi budaya pemerintahan, maka setiap usaha pemberantasan korupsi sama halnya dengan mission imposible.

Kedua, pemberantasan korupsi sulit dilakukan karena perilaku korup pada dasarnya merupakan struktur yang terdapat dalam rasio pelaku sebagai hasil sedimentasi dari perulangan praktik korupsi yang berjalan dari waktu ke waktu. Praktik korupsi yang bisa dilakukan berulang-ulang oleh pelaku ini, memiliki implikasi pada terbaliknya cara pikir. Nikmat pribadi karena pemilikan materi yang berlimpah, disertai dengan miskinnya kesadaran moral, akhirnya menyeret pelaku pada keyakinan bahwa melakukan korupsi lebih rasional dibanding menghindarinya. Semakin banyak pengalaman korupsi, semakin wajar dan rasional pula perilaku tersebut di mata pelakunya.

Penilaian masyarakat yang telah terkena dampak kapitalisme dan materialisme, yang meletakan standar kesuksesan seseorang dari harta kekayaan yang dimiliki, menambah kuat rasionalitas korupsi ini. Standar ini memicu semangat pelaku untuk memiliki materi yang sebanyak-banyaknya dengan cara apapun, bahkan dengan cara melanggar aturan dan hukum. Kita dapat mengatakan bahwa keserakahan terhadap materi ini juga diakibatkan oleh implikasi dari budaya kapitalisme yang sangat mengagungkan harta milik. Sejumlah pengamat menilai bahwa biang keladi korupsi adalah kapitalisme serta sekutu sejarahnya, yaitu, kolonialisme (Klitgaard, 1998:85). Meskipun kita tidak dapat sepenuhnya menyalahkan kapitalisme, namun hampir tidak dapat dipungkiri bahwa munculnya fenomena kerakusan akan harta di masyarakat modern, yang sebagian diantaranya mengakibatkan tindakan korupsi, sebagian disumbang oleh budaya kapitalisme.

Lalu apa yang perlu kita lakukan? Perubahan yang harus dilakukan adalah dengan mengubah struktur yang ada dalam rasionalitas pelaku dengan cara menanamkan pengertian bahwa tindakan korupsi itu melanggar hukum dan moralitas. Pelaku korupsi harus disadarkan bahwa perilakunya tidak rasional karena resiko yang begitu berat yang akan dihadapinya, yaitu, bukan hanya penjara tetapi juga pelanggengan pemiskinan masyarakat. Namun keberhasilan upaya penyadaran ini sangat ditentukan oleh keseriusan para penegak hukum mempraktikkan Law Enforcement. Perubahan ini paling mungkin dilakukan oleh masyarakat, yaitu, dengan meningkatkan sikap kritis mereka terhadap tindakan korupsi. Sikap kritis ini harus dijaga keberlangsungannya dengan cara membentuk sebanyak mungkin simpul-simpul di masyarakat yang bisa mengawasi setiap praktik pemerintahan. Kehadiran Indonesian Corruption Watch (ICW) dan KPK tentu merupakan darah segar bagi usaha memerangi korupsi. Namun tidak cukup dengan dua institusi tersebut, diperlukan simpul-simpul lain di masyarakat yang bersedia berperang melawan koruptor.

Tidak ada komentar: