Jumat, 24 April 2009

VERSI LAIN KISAH PENCIPTAAN PRIA DAN WANITA

Pada saat Sang Pencipta telah selesai menciptakan pria.
Ia baru menyadari bahwa Ia juga harus menciptakan wanita .
Padahal semua bahan untuk menciptakan manusia sudah habis dipakai untuk menciptakan pria.

Kemudian Sang Pencipta merenung sejenak, dan kemudian Ia mengambil lingkaran bulan purnama, kelenturan ranting pohon anggur,
goyang rumput yang tertiup angin, mekarnya bunga, kelangsingan dari buluh galah, sinar dari matahari, tetes embun dan tiupan angin.

Ia juga mengambil rasa takut dari kelinci dan rasa sombong dari merak, kelembutan dari dada burung dan kekerasan dari intan, rasa manis dari madu dan kekej aman dari harimau, panas dari api dan dingin dari salju,keaktifan bicara dari burung kutilang dan nyanyian dari burung bul-bul, kepalsuan dari burung bangau dan kesetiaan dari induk singa.

Dengan mencampurkannya bahan semua itu, maka Sang Pencipta membentuk wa nita dan memberikannya kepada pria.Pria itu merasa senang sekali karena hidupnya tidak merana dan kesepian seorang diri. Setelah satu minggu, pria itu datang kepada Tuhan,
katanya: 'Tuhan, ciptaan-Mu yang telah Engkau berikan kepadaku membuat hidupku tidak bahagia. Ia bicara tiada henti sehingga aku tidak dapat beristirahat. Ia minta selalu untuk diperhatikan. Ia mudah menangis karena hal-hal sepele. Aku datang untuk mengembalikan wanita itu kepada-Mu, karena aku tidak bisa hidup dengannya'. Baiklah', kata Sang Pencipta.
Dan Ia mengambilnya kembali.

Beberapa minggu kemudian, pria itu datang lagi kepada Tuhan, dan berkata, 'Tuhan, sejak aku memberikan kembali wanita ciptaan-Mu, kini aku merana kesepian.Tiada lagi yang memperhatikanku, tiada lagi yang menyayangiku. Aku selalu memikirkan dia, ke mana pun aku pergi, aku selalu ingat dia. Makan tidak enak, tidur tidak nyenyak. Aku rindu kepadanya.

Di kala aku sendirian, kubayangkan wajahnya yang cantik, kubayangkan bagaimana ia menari dan menyanyi. Bagaimana ia melirik aku.
Bagaimana ia bercakap-cakap dan manja kepadaku.
Ia sangat cantik untuk dipandang,dan sedemikian lembut untuk disentuh.
Aku suka akan senyumannya. Tuhan, kembalikan lagi wa nita itu kepadaku!'.

Sang Pencipta berkata, 'Baiklah'. Ia memberikan wanita itu kembali kepadanya.
Tetapi, tiga hari kemudian pria itu datang lagi kepada Tuhan dan berkata, Tuhan, aku tidak mengerti. Mengapa dia memberikan lebih banyak lagi kesusahan
dari pada kegembiraan. Dia semakin menyebalkan.
Aku tidak tahan lagi dengan sikap dan tingkah lakunya.
Aku berdoa kepada-Mu. Ambillah kembali wa nita itu.
Aku tidak dapat lagi hidup dengannya'.

Sang Pencipta balik bertanya, 'Kamu tidak dapat hidup lagi dengannya?'.
Pria itu tertunduk malu, ia merasa putus asa. Dalam hatinya ia berkata,
Apa yang harus aku perbuat? Aku tidak dapat hidup dengannya,
tetapi aku juga tidak dapat hidup tanpa dia.
Tuhan, ajarilah aku untuk mengerti apa arti hidup ini?'.

Belajarlah untuk memahami perbedaan dan belajarlah untuk berani menerima perbedaan dalam hidupmu!
Pahamilah dan usahakanlah apa yang menjadi kebutuhan mendasar dari pasangan hidupmu!', jawab Tuhan.

Dan inilah enam kebutuhan mendasar pria dan wanita :
1. Wanita membutuhkan perhatian,dan pria membutuhkan kepercayaan.
2. Wanita membutuhkan pengertian,dan pria membutuhkan penerimaan.
3. Wanita membutuhkan rasa hormat,dan pria membutuhkan penghargaan.
4. Wanita membutuhkan kesetiaan,dan pria membutuhkan kekaguman.
5. Wanita membutuhkan penegasan,dan pria membutuhkan persetujuan.
6. Wanita membutuhkan jaminan,dan pria membutuhkan dorongan

GOLPUT SEBAGAI PEMENANG PEMILU 2009?

Setiap kali sebuah negara-bangsa merayakan pesta demokrasinya lewat Pemilu, di saat yang sama pula ancaman terhadap munculnya golongan putih atau GOLPUT sangat besar, bahkan menjadi pemenang mutlak. Golongan Putih merupakan suatu gerakan moral yang tidak bersifat melembaga, bahkan sering bersifat rahasia, yang mengadakan praktik dan kegiatan pada saat pemilu dengan prinsip tidak mau memilih salah satu pemimpin atau salah satu partai politik yang ada.

Pada dasarnya menjadi golput adalah hak asasi seseorang, terlebih dalam negara yang bersifat demokratis. Menjadi golput adalah sebuah pilihan yang harus dihargai; menjadi golput berarti ”memilih untuk tidak memilih”. Biasanya hal ini diatur dalam undang-undag. Oleh sebab itu, setiap orang yang berniat menjadi golput harus selalu menyesuaikan tindakannya dengan peraturan yang ada. Selain itu, seseorang yang memilih untuk menjadi golput tidak boleh memprovokasi atau memaksa orang lain untuk juga menjadi golput. Memprovokasi atau memaksa orang lain menjadi golput merupakan tindakan yang bersifat tidak menghargai hak asasi orang lain. Sekalipun menjadi golput, pada akhirnya menjadi pilihan seseorang yang harus dihargai, namun harus dilakukan secara sangat hati-hati agar tidak merugikan kepentingan bangsa dan negara.
Hal mendasar lain juga yang perlu menjadi bahan pertimbangan penting adalah bahwa satu suara sangat berpengaruh dalam menentukan kebijakan nasional. Oleh karena itu, suara jangan sampai disia-siakan atau digunakan secara salah.

McQuilkin, memberikan sebuah fakta historis yang menarik mengenai betapa berharganya nilai suara dalam Pemilu di Amerika Serikat. Pada musim gugur 1843, Madison Marsh terpilih sebagai Perwakilan Rakyat negara bagian Indiana karena unggul satu suara atas lawannya. Salah satu yang memilihnya adalah Henry Shoemacher, yang mengendarai kudanya sejauh 12 mil ke tempat pemilu. Dalam tingkat pemilihan yang ’lebih tinggi’, Madison Marsh mempunyai tanggung jawab untuk memilih senator Amerika Serikat yang bernama Edward A. Hannegan yang juga terpilih karena unggul satu suara. Ketika pada tahun 1846 terjadi masalah antara Amerika Serikat dengan Mexico, perang pun diproklamirkan dengan unggul satu suara yang adalah pilihan dari senator Hannegan. Angkatan perang Amerika memenangkan perang yang mengakibatkan dipersatukannya wilayah Selatan Barat, yang kemudian menjadi Texas, California, Idaho dan Oregon.

Satu suara dalam pemilihan dapat menghasilkan suatu perubahan yang sangat berarti.
Dalam konteks Indonesia, golput pada masa Orde Baru (Orba) dan era Reformasi mempunyai dua wajah yang berbeda. Pada masa Orba golput benar-benar menjadi sebuah kesadarang politik yang dapat melawan hegemoni penguasa hingga akhirnya mengkerucutkan kekuatannya lewat gerakan reformasi 1998. Namun pada era Reformasi hingga kini, golput bukan sebagai bentuk kesadaran politik, tetapi mungkin lebih pada sikap ke-apatis-an untuk mengikuti Pemilu karena sudah muak dan tidak percaya terhadap lembaga politik yang ada sekarang ini. Dengan kata lain fenomena banyaknya golput bisa berarti keterpilihan pemimpin tidak mencerminkan kehendak rakyat secara utuh.

Berdasarkan Pemilihan legislatif 2009 kemarin, orang golput bisa jadi juga disebabkan karena tidak peduli saat hak pilihnya tidak diberikan sebagaimana mestinya oleh petugas yang bertanggungjawab untuk itu. Banyak warga tidak memberikan hak suaranya pada Pemilihan Anggota Legislatif (pileg) 9 April kemarin karena tidak terakomodir dengan baik oleh pihak penyelenggara pemilu. Maka tidak salah kalau dalam arti itulah hak konstitusional warga digolputkan oleh sebuah sistem.
Lantas apakaha tidak bijaksana juga kalau masyarakat tetap menjadi golput? Ataukah golput adalah suatu tindakan yang keliru hingga beberapa anak bangsa berusaha untuk memfatwakan golput? Pada prinsipnya satu suara sangat berharga bagi kemajuan sebuah bangsa, karena daripadanyalah perubahan itu akan muncul. Namun golput kalau dikelola dengan baik tidak terlalu mengancam konstelasi tatanan demokrasi Indonesia. Yang paling mengancam eksistensi praksis demokrasi kita adalah politik uang (money politic) dalam mencapai kekuasaan. Sebab kalau itu yang terjadi, negara kita bukan tidak mungkin akan menuju pada kepunahan. Seperti yang dikatakan oleh Mohandas K. Gandhi bahwa hal-hal yang akan punah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara adalah bila terjadi praktik politik tanpa prinsip, kesenangan tanpa hati nurani, kekayaan tanpa kerja, pengetahuan tanpa watak, bisnis tanpa moral, ilmu tanpa kemanusiaan, dan ibadah tanpa pengorbanan. Maukah Indonesia menjadi negara yang akan tinggal cerita? Kita semua yang harus menjawabnya.