Jumat, 24 April 2009

GOLPUT SEBAGAI PEMENANG PEMILU 2009?

Setiap kali sebuah negara-bangsa merayakan pesta demokrasinya lewat Pemilu, di saat yang sama pula ancaman terhadap munculnya golongan putih atau GOLPUT sangat besar, bahkan menjadi pemenang mutlak. Golongan Putih merupakan suatu gerakan moral yang tidak bersifat melembaga, bahkan sering bersifat rahasia, yang mengadakan praktik dan kegiatan pada saat pemilu dengan prinsip tidak mau memilih salah satu pemimpin atau salah satu partai politik yang ada.

Pada dasarnya menjadi golput adalah hak asasi seseorang, terlebih dalam negara yang bersifat demokratis. Menjadi golput adalah sebuah pilihan yang harus dihargai; menjadi golput berarti ”memilih untuk tidak memilih”. Biasanya hal ini diatur dalam undang-undag. Oleh sebab itu, setiap orang yang berniat menjadi golput harus selalu menyesuaikan tindakannya dengan peraturan yang ada. Selain itu, seseorang yang memilih untuk menjadi golput tidak boleh memprovokasi atau memaksa orang lain untuk juga menjadi golput. Memprovokasi atau memaksa orang lain menjadi golput merupakan tindakan yang bersifat tidak menghargai hak asasi orang lain. Sekalipun menjadi golput, pada akhirnya menjadi pilihan seseorang yang harus dihargai, namun harus dilakukan secara sangat hati-hati agar tidak merugikan kepentingan bangsa dan negara.
Hal mendasar lain juga yang perlu menjadi bahan pertimbangan penting adalah bahwa satu suara sangat berpengaruh dalam menentukan kebijakan nasional. Oleh karena itu, suara jangan sampai disia-siakan atau digunakan secara salah.

McQuilkin, memberikan sebuah fakta historis yang menarik mengenai betapa berharganya nilai suara dalam Pemilu di Amerika Serikat. Pada musim gugur 1843, Madison Marsh terpilih sebagai Perwakilan Rakyat negara bagian Indiana karena unggul satu suara atas lawannya. Salah satu yang memilihnya adalah Henry Shoemacher, yang mengendarai kudanya sejauh 12 mil ke tempat pemilu. Dalam tingkat pemilihan yang ’lebih tinggi’, Madison Marsh mempunyai tanggung jawab untuk memilih senator Amerika Serikat yang bernama Edward A. Hannegan yang juga terpilih karena unggul satu suara. Ketika pada tahun 1846 terjadi masalah antara Amerika Serikat dengan Mexico, perang pun diproklamirkan dengan unggul satu suara yang adalah pilihan dari senator Hannegan. Angkatan perang Amerika memenangkan perang yang mengakibatkan dipersatukannya wilayah Selatan Barat, yang kemudian menjadi Texas, California, Idaho dan Oregon.

Satu suara dalam pemilihan dapat menghasilkan suatu perubahan yang sangat berarti.
Dalam konteks Indonesia, golput pada masa Orde Baru (Orba) dan era Reformasi mempunyai dua wajah yang berbeda. Pada masa Orba golput benar-benar menjadi sebuah kesadarang politik yang dapat melawan hegemoni penguasa hingga akhirnya mengkerucutkan kekuatannya lewat gerakan reformasi 1998. Namun pada era Reformasi hingga kini, golput bukan sebagai bentuk kesadaran politik, tetapi mungkin lebih pada sikap ke-apatis-an untuk mengikuti Pemilu karena sudah muak dan tidak percaya terhadap lembaga politik yang ada sekarang ini. Dengan kata lain fenomena banyaknya golput bisa berarti keterpilihan pemimpin tidak mencerminkan kehendak rakyat secara utuh.

Berdasarkan Pemilihan legislatif 2009 kemarin, orang golput bisa jadi juga disebabkan karena tidak peduli saat hak pilihnya tidak diberikan sebagaimana mestinya oleh petugas yang bertanggungjawab untuk itu. Banyak warga tidak memberikan hak suaranya pada Pemilihan Anggota Legislatif (pileg) 9 April kemarin karena tidak terakomodir dengan baik oleh pihak penyelenggara pemilu. Maka tidak salah kalau dalam arti itulah hak konstitusional warga digolputkan oleh sebuah sistem.
Lantas apakaha tidak bijaksana juga kalau masyarakat tetap menjadi golput? Ataukah golput adalah suatu tindakan yang keliru hingga beberapa anak bangsa berusaha untuk memfatwakan golput? Pada prinsipnya satu suara sangat berharga bagi kemajuan sebuah bangsa, karena daripadanyalah perubahan itu akan muncul. Namun golput kalau dikelola dengan baik tidak terlalu mengancam konstelasi tatanan demokrasi Indonesia. Yang paling mengancam eksistensi praksis demokrasi kita adalah politik uang (money politic) dalam mencapai kekuasaan. Sebab kalau itu yang terjadi, negara kita bukan tidak mungkin akan menuju pada kepunahan. Seperti yang dikatakan oleh Mohandas K. Gandhi bahwa hal-hal yang akan punah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara adalah bila terjadi praktik politik tanpa prinsip, kesenangan tanpa hati nurani, kekayaan tanpa kerja, pengetahuan tanpa watak, bisnis tanpa moral, ilmu tanpa kemanusiaan, dan ibadah tanpa pengorbanan. Maukah Indonesia menjadi negara yang akan tinggal cerita? Kita semua yang harus menjawabnya.

Tidak ada komentar: