Senin, 11 Januari 2010

Simulakra sang Pahlawan dalam Era Digitalisasi

Setiap komunitas dan babak peradaban hidup manusia memiliki pahlawan. Disebut pahlawan karena mempunyai “kelebihan khusus” dan melakukan hal-hal yang jauh melampaui kemampuan orang-orang biasa. Herkules dalam kebudayaan Yunani kuno, misalkan, dianggap sebagai seorang pahlawan karena mempunyai karakter superhuman, menyerupai setengah dewa dan punya kelebihan di luar daripada manusia biasa. Begitu juga dengan Aleksander Agung, yang mampu menaklukkan teritori yang sangat luas dari Yunani sampai India dan melingkupi 14.000 mil ke arah Timur Yunani. Karena kemampuannya itu, masyarakat kemudian mengabadikan jasa dan pengorbanan Aleksander dengan membuat patung khusus untuknya.
Lewat ilmu sejarah kita mengenal begitu banyak pejuang nasional yang dengan caranya masing-masing memperjuangkan negeri Indonesia ini bebas dari keterbelengguhan kolonialisme Belanda. Kepahlawanan para pejuang nasional bukan terutama karena jasa khusus yang telah mereka sumbangkan, tetapi lebih pada pengorbanan khusus yang tak tergantikan, yaitu hidup dan nyawa mereka sendiri. Poin inilah yang membedakan mereka dengan para ilmuwan, ekonom, dan politikus. Penemu mesin uap, pesawat telepon, atau penemu penisilin dan berbagai obat untuk penyakit yang sebelumnya tidak terobati, demikian pula penemuan di bidang fisika dan teknologi, telah mengubah nasib jutaan orang, tetapi para penemu itu tidak dijadikan pahlawan. Jasa mereka mungkin dihargai dengan hadiah Nobel pada masa sekarang, atau dengan mengabadikan nama mereka pada gedung-gedung penting, jalan, institusi pendidikan, atau lembaga penelitian. Tetapi tetap saja mereka tidak disebut Pahlawan. Dengan kata lain pahlawan bukanlah orang yang memberikan jasa khusus tetapi mereka yang memberikan pengorbanan khusus. Berjasa berarti memberikan sesuatu, tetapi berkorban berarti kehilangan sesuatu. ‘Pengorbanan khusus’ seorang pahlawan dari masa ke masa selalu mengalami evolusi makna. Pengorbanan khusus seorang pahlawan kini lebih banyak dikonstruksi oleh realitas media informasi dan tekhnologi yang serba canggih. Karena dibentuk oleh media, maka pahlawan tidak hanya tentang tokoh negara, tokoh politik, atau sang jendral, tapi juga para “orang biasa,” hal ihwal seseorang yang dipilih dari kumpulan massa.
Seorang sejarahwan seni rupa Indonesia, Sanento Yuliman, dalam esainya yang berjudul Dalam Bayang Sang Pahlawan, menyebut bahwa “pahlawan adalah tokoh teatrikal. Untuk jadi pahlawan, seseorang harus memenuhi syarat-syarat seni teater; ia mesti cukup agung, cukup dramatis, cukup fiktif, namun meyakinkan.” Para pahlawan dari masa klasik menjalani proses revisi dan “penyuntingan” yang sangat lama, hingga mereka tampil agung, dramatis, meski fiktif tapi sangat memesona. Namun, di zaman perputaran dan pertukaran modal yang digerakkan media yang beroperasi secara global, proses penyuntingan “sang pahlawan” bukan hanya terburu-buru: ia bahkan lebih sering jadi instan, menjadikan pahlawan dalam model “paket siap saji.” Sudah tidak aneh, kita tahu, jika sang pahlawan tegak berdiri di atas pentas kekuasaan, yang kini berwujud auditorium teater multimedia yang megah, lengkap dudukung kecanggihan teknologi representasi audiovisual: dengan demikian, jauh lebih penting sebagai suatu tontonan yang tak hanya agung dan meyakinkan, melainkan juga menguntungkan.
Menimbang proses “penyuntingan,” disinggung Senanto, kini bisa dikaitkan pada hasil kontemplasi Jean Baudrillard ketika menyebut the obscene of power. Baudrillar merumuskan apa yang dimaksud the obscene sebagai the loss of scene. Istilah scene dalam kamus pemikiran Baudrillard, berarti “the very possibility of creating a space where things transform themselves, to play in another way, and not at all in their objective determination.” (Guy Bellavance, Baudrillard live. Mike Gane, ed., London, Routledge, 1993, hlm.61-63).

Scene adalah pengertian dimana setiap orang diundang untuk turut menyimpulkan, dengan demikian adalah juga suatu ruang kebebasan dari konvensi: sebuah ruang tempat seseorang masih dapat menyatakan semacam jarak agar bisa menempatkan diri di luar alam aturan dan ketetapan sehingga tak sepenuhnya tenggelam di dalamnya. Dalam masa situasi ledakan obscenity, ungkap Baudrillard, “the possibility of interventing an enchanted space... and the possibility of playing on that stance are lost.” Demikianlah, sehingga obscenity juga bisa dianggap sebagai ‘total promiscuity of things.” (Zygmunt Bauman, Scene and Obscene, London 2002, hlm 280).
“Kenyataan” ini adalah bagian dari kesimpulan Baudrillard tentang dunia baru kita yang disebutnya sebagai simulakra, kondisi ketika perbedaan antara realitas dan simulasinya tak lagi bisa dibedakan; situasi ketika pertanyaan ihwal “what is real” dan what is not” tak lagi relevan diajukan. Apa yang terjadi bukan lagi soal realitas yang kini makin dijauhkan oleh simulakra, melainkan soal ketiadaan cara untuk mengetahui apa yang sebenarnya nyata, seperti juga bila kita diharuskan menjawab pertanyaan: “bagaimana sesuatu bisa kita anggap lebih nyata dari yang lainnya?”
Konsekuensi cara pandang seperti itu membentuk persepsi kita bahwa media seolah telah jadi kaki tangan sang massa, memproduksi cita rasa mereka, minat mereka pada berbagai tontonan, serta membangun bermacam-macam fantasi dan cara hidup. Intinya, memproduksi kondisi pupusnya batas-batas antara kesadaran massa fantasmagoria media.
Akibat lanjutnya adalah antara pahlawan dengan idola tak bisa dibedakan, malah idola bisa disejejerkan dengan sang pahlawan. Padahal dari segi karakter yang paling sublim yang dimiliki sang pahlawan adalah nilai keberanian mengambil pilihan (choice) dalam keadaan sulit dan tindakan (action) dengan mengedepankan nilai-nilai yang benar (correct values).
Dalam soal pilihan banyak orang melarikan diri ketika diperhadapkan dengan pilihan sulit. Bahkan demi menghindari resiko, mereka tidak memilih sama sekali. Tidak demikian dengan pahlawan. Ia selalu memiliki keberanian untuk mengambil keputusan berdasarkan pilihan yang ada. Kalau kita pernah menonton film Braveheart yang mengisahkan jiwa heroisme William Wallace, di dalam film itu dikisahkan bahwa ia memutuskan memilih untuk berteriak “Merdeka!” meski dia harus dihukum mati oleh pasukan Inggris. Begitu pula pilihan sulit ini dibuat oleh para pahlawan nasional kita meski harus kehilangan kedudukan, bahkan nyawa mereka. Kemudian, selain memilih, seorang pahlawan juga bertindak sesuai dengan apa yang sudah dia pilih. Banyak orang sudah menentukan pilihannya, tetapi kemudian tidak melaksanakan pilihannya dengan sungguh-sungguh.
Seorang pahlawan sejati akan memilih dan bertindak berdasarkan nilai dan prinsip yang benar. Prinsip kebenaran selalu bersifat umum dan tidak berkaitan dengan agama tertentu. Kejujuran, mengutamakan kepentingan orang banyak, memberi orang lain sesuai dengan haknya, bertanggung jawab, dan adil kepada semua orang adalah contoh prinsip-prinsip kebenaran umum yang berlaku setiap agama dan setiap kehidupan di dunia. (Anthony Dio Martin, November 2008).
Pendek kata, di era situasi simulacra, seorang pahlawan yang nota benenya merupakan agen perubahan sosial adalah seseorang yang mampu menginspirasikan keyakinan dan kepercayaan kita, yang merepresentasikan nilai-nilai tertinggi dari peradaban dan mampu mengkomunikasikan nilai-nilai peradaban tersebut serta mempunyai cita rasa yang baik tentang dirinya dan tanggungjawabnya kepada diri sendiri dan orang lain. Atau dalam bahasa Nandini Cardosa, seorang penyair asal Goa India menyebutkan, “Pahlawan setiap hari adalah orang-orang yang menyentuh hati kita. Dan mereka meninggalkan jejak kaki di hati kita yang mengubah kehidupan kita selamanya.”