Selasa, 18 Agustus 2009

SELAMAT DATANG REJIM 20:8

Rejim 20 : 80

Kalau kita mengikuti perkembangan berita di TV, internet maupun surat khabar lokal dan nasional tentang proses pemilu (pileg dan pilpres 2009) kemarin, sangat jelas bagi kita bagaimana para elite kekuasaan di negri ini punya ambisi untuk menciptakan Indonesia sebagai negara bangsa yang menganut “demokrasi poliarki”. Salah satu contoh konkrit dari ambisi tersebut adalah bagaimana para elite sudah mulai melobi sana-sini jatah kursi kekuasaan. Lalu apa dan bagaimana konsekuensi logis dari praktik demokrasi poliarki bagi rakyat Indonesia?

Demokrasi poliarki sebagaimana yang sedang ramai didiskusikan dalam media jejaring sosial facebook dan malist group bahwa pemahaman tersebut selalu merujuk pada pandangan William Robinson. Menurutnya demokrasi poliarki merupakan sebuah sistem yang dikendalikan oleh sekelompok kecil elit saja dan rakyat hanya memilih elit-elit yang sedang berkompetisi. Yang ikut berkompetisi adalah calon-calon yang disodorkan oleh elit, sedang nuansa rakyat melahirkan pemimpinnya sendiri sangat jauh panggang dari api. Paling tidak itulah yang terjadi pada pemilu Indonesia sejak zaman kemerdekaan hingga sekarang. Dalam konteks geopolitik global praktik demokrasi poliarki ini yang paling kentara terjadi ketika Mikhael Gorbachev dan para tokoh politik serta pebisnis ulung dunia pada akhir September, 1995 berkumpul mengadakan pertemuan di Hotel Fairmont San Fransisco AS. Isu yang diangkat dalam pertemuan itu tentang “akan seperti apakah masa depan masyarakat manusia di planet bumi ini.” Setelah beberapa hari peserta berdiskusi berbagai persoalan manusia dari beragam sudut pandang, akhirnya mereka merapat pada suatu imajinasi kolektif yakni imajinasi masyarakat 20:80. Imajinasi masyarakat 20:80 adalah di masa depan masyarakat dunia akan terbagi menjadi dua, yaitu 20 % warga dunia akan aktif menyangga dunia sebagai produsen, sedangkan sisanya yang 80 % akan sebagai konsumen.

Mengingat yang hadir dalam pertemuan itu adalah tokoh-tokoh politik dan pelaku-pelaku bisnis raksasa, maka imajinasi masyarakat 20:80 itu harus dipandang sebagai hal yang tidak main-main. Mereka pasti punya alasan kuat sampai pada kesimpulan tersebut, bahkan jikalau alasan itu adalah alasan-alasan yang membenarkan mengalirnya keuntungan atau kesejahteraan dunia ke kantong-kantong pribadi mereka yang jumlahnya hanya 20 persen itu. Mungkin saja itu bukan hal imajinasi lagi, tetapi lebih merupakan skenario yang sedang dan akan terus mereka jalankan.
Tidak hanya di lapangan ekonomi saja lapis kecil, 20 % mengendalikan sumber daya ekonomi yang jauh lebih banyak, tetapi ini juga harus didukung oleh bangunan politik yang senada, dan bangunan politik itu adalah demokrasi poliarki.

Ketika reformasi adalah juga bermakna sebagai Politik Pintu Terbuka fase 3 (fase 1 tahun 1870-an, fase ke 2 mulai tahun 1966, awal Orde Baru), maka itu berarti bahwa ketika selama Orde Baru pintu baru dibuka setengahnya bagi masuk-keluarnya modal asing, maka saat reformasi pintu itu menjadi terbuka penuh. Imajinasi masyarakat 20 : 80 mendapatkan momentum untuk realisasinya di bumi Indonesia. Cita-cita konsentrasi kekayaan, kesejahteraan pada lapis 20 % ini dengan turunnya rejim Soeharto seakan mendapatkan momentumnya untuk menjadikan Indonesia sebagai ladang perburuan yang semakin terbuka.

Maka ketika wujud politik sudah terbangun sesuai dengan kepentingan masyarakat 20 : 80, dan bangunan demokrasi yang ada sudah dirasa kompatibel dengan kepentingan masyarakat 20:80, itulah saat ketika rejim 20:80 ini memasuki fase stabilisasi. Pasca pemilihan presiden 2009 ini harus juga kita maknai sebagai fase stabilisasi rejim 20:80. Mengapa demikian? Output akhir dari desain politik demokrasi poliarki adalah kekuasaan tetap di tangan elit, yang dalam hal ini adalah elit yang siap sedia bekerja sama dengan kepentingan- kepentingan global, terlebih dengan Amerika dan sekutu-sekutunya, perusahaan-perusahaan transnasional, dan big businessman. Bekerja sama di sini harus dipandang sebagai ada pihak yang melayani dan yang dilayani, bukan dalam arti kerjasama yang setara sebagai sama-sama bangsa merdeka. Artinya adalah peta geopolitik internasional itu tetap tidak berubah. Melawan ini tentu saja penuh tantangan. Dan ini memang harus dilawan karena akankah kita diam diri ketika berlangsung proses terkonsentrasinya kesejahteraan hanya di lapis segelintir orang saja? Bukankah itu menyimpang dari semangat diproklamasikan NKRI ini seperti yang ditulis dalam Pembukaan UUD 1945?

WWW.pkbangsaan.com

Tidak ada komentar: